Misteri
apa yang sebenarnya ada dalam hidup ini? Aku menerimanya tanpa mampu
memecahkannya. Apa arti kehidupan sesungguhnya? aku menjalani tanpa tahu
makna sebenarnya. Apa sejatinya waktu? Aku membiarkannya berlalu tanpa
tahu alasannya berlalu. Dan apakah sejatinya CINTA?
Yeah,
akulah gadis patah hati yang menyimpan harapan kosong. Semua orang
memanggilku “Mawar”, nama pemberian orang tuaku. Mereka memberiku nama
Mawar bukanlah tanpa arti. Mereka ingin aku layaknya bunga mawar yang
indah dipandang mata, namun tak sembarang orang bisa memetiknya. Dengan
warna merah bunganya yang melambangkan keberanian. Tapi fakta berputar
haluan. Aku pernah jatuh dalam pelukan orang yang salah. Aku tak lagi
setegar dulu, aku rapuh. Bahkan aku tak punyai keberanian tuk ungkap
bahwa sejatinya ku masih menyayanginya.
“Woy, ngelamun aja kerjanya!” Nisa mengagetkanku. Seketika, aku pun tersadar dari lamunan.
“Eh, Nis…nggak,kok. Aku cuman…” Belum sempat ku temukan alasan tepat untuk mengelak, Nisa buru-buru memotong perkataanku.
“Cuman mengenang masa lalu! Iya, kan?!”
Aku
hanya terdiam. Menatap matanya. Dia pun membalas tatapanku. Seakan
masih menyimpan beribu tanya yang kapan pun siap menghujamku. Aku
menunduk. Tak terasa telah menetes kini kristal-kristal bening dari
mataku. Nisa memelukku. Pelukan hangat seorang sahabat yang ia berikan
padaku.
“Sudahlah, War. Aku tahu gimana perasaanmu. Tapi bukan berarti kamu harus berlarut-larut dalam kesedihan gini, kan?! Come on Baby, get up from your dream!” Supportnya. “Masih ada aku, teman-teman, keluargamu yang juga menyayangimu.”
“Tapi, Nis. Sulit bagiku buat lupain dia!”
“Mawar,
lihat aku! Mungkin aku memang belum pernah mngalami hal sepertimu, tapi
aku sudah bisa tahu peranku bila aku ada diposisimu.”
“Apa?”
“Berusaha keras untuk menjauhinya, tidak mengingatnya, bahkan melupakannya.” Terangnya.
“Tapi nyatanya gak semudah itu, Nis.”
“Bisa. Semua tergantung niat.”
Suasana menjadi hening. Bahkan hembusan angin yang memainkan dedaunan pohon disamping rumah pun nyaris jelas terdengar.
“Ah sudahlah, mungkin kamu bisa menimbang kembali perkataanku. Oh, iya, aku kesini tadi cuma mau balikin
komik Conan-mu ini kok. Makasih ya, ceritanya bagus.” Ucapnya seraya
menyodorkan komik itu padaku. Aku menerimanya dengan sedikit senyum khas
ku.
“Sama-sama.” Ucapku lirih.
“Oh, ya, coyi tadi gak sempat ngetuk pintu kamarmu. Sengaja. He,he,he,”
“Iya, gak pa-pa kok. Ah, kamu, kayak baru kenal aku aja.”
Perbincangan kita hanya sampai disitu, karena Nisa keburu pamit, takut kesorean.
JJJ
Malam
ini aku kembali merenung dibawah sinar bulan purnama. Masih teringat
kata-kata sahabatku-Nisa-tadi siang. Apa mungkin karena memang aku tidak
berniat untuk melupakannya? Tapi harus ku akui, aku memang masih selalu
mengharapnya kembali.
Hmmm…
Hembus bayu malam itu, kembali menyibak tirai masa lalu, membawaku dalam kenangan kelam didalamnya.
JJJ
Dua
tahun lalu, aku masih bersamanya, dia masih milikku, aku masih bahagia.
Tapi sejak saat itu…saat ia t’lah temukan sosok yang lebih dariku,
semuanya terenggut sudah. Angan hancur, impian musnah. Seakan nasib
berbalik 180 derajat dari sudut semula.
Sore itu, alangkah terkejutnya aku saat ia berkata, “Sorry, sebaiknya kita akhiri saja hubungan ini. Aku gak pengen kamu sakit hati.”
“Kenapa? Apa kamu pikir sekarang pun aku belum sakit hati?!” selorohku tak terima.
Ia
diam. Entah masih mencari alasan atau bahkan sudah tak menemukan alasan
lagi tuk menjawab pertanyaanku. Sejenak suasana terasa hening. Sengaja
ku biarkan angin memainkan rambutku. 1 detik, 2 detik, 3 detik berlalu
seiring irama detak jantung, ku masih mematung menunggu jawaban darinya.
Dan pada detik ke-7 inilah …entah apa yang telah ia pikirkan dan akan
ia utarakan.
“Sebelumnya ma’af, aku gak bisa lagi menyayangimu.”
Ssrrrt…seakan
ada sesuatu yang tergores di dalam sini. Yah, hatiku! Serasa sebilah
belati telah menyayatnya. Sejenak aku tercengang sembari berharap ia
akan merevisi ulang ucapannya barusan. Namun seketika, aku tersadar
bahwa itu tak mungkin terjadi.
“Baik, aku penuhi tantanganmu. Trim’s buat semuanya.” Ouch! Apa yang telah ku katakan barusan. Bahkan hatiku bertambah miris mendengar ucapanku sendiri.
“War,
aku tahu kamu pasti terluka dengan keputusan ini. Kamu boleh
membenciku. Tapi sekali lagi aku mohon, ma’afkan aku.” Entah memang
terpasang atau sengaja di pasang, dengan nada suara yang tenang dan raut
penyesalan diwajahnya ia berkata seperti itu. Sedang aku, menatapnya
lantang, seakan menantang.
“Hey,”
Ku kibaskan tanganku kearahnya. “Tatap mataku, lihat! Adakah kebencian
yang tersirat disana? Gak ada, kan?! Lagipula aku gak terluka, kok.
Jangan terlalu merasa dech, Yoz! Aku gak pa-pa, kok.” Ck,
kemunafikan apa lagi ini? Mengaku tak terluka, sementara sudah dari tadi
aku menahan bendungan air mata yang tak mungkin ku tumpahkan sekarang,
di depan Yozhi.
“Ah,
sudahlah! Aku sadar, setiap awal akan menemukan akhir. Seperti halnya
kita, bertemu untuk berpisah. Pertama kenal kita berteman, sekarang
bubar pun ku harap kita masih bisa menjadi teman.” Terang ku.
Secepatnya
ku akhiri perbincangan sore itu. Segera ku bergegas pulang meninggalkan
Yozhi tanpa menoleh lagi. Langkah pertamaku beranjak, diiring serta
dengan Kristal bening yang jatuh dari mataku tanpa ku pinta.
Senja
itu, menjadi saksi bisu berakhirnya hubunganku dengan Yozhi, sekaligus
membawa pergi cinta Yoz untukku, bersama terbenamnya sang fajar.
JJJ
Hiks, hiks, hiks.
Tanpa terasa basah kembali pipi ini, setelah terputar ulang history of loveku bersama Yoz. Ku ambil pulpen dari kotak pensilku. Ku buka lembar diary yang masih kosong.
Dengan
segenap perasaan kacau, ku coba mengukir kata tuk lukiskan perasaanku.
Kata demi kata ku rangkai. Sesekali ku mainkan pulpen dengan
memutar-mutarnya, mencari kata yang tepat tuk puisi amatir ku ini.
Yeah…akhirnya selesai juga karya amatirku ini. Meskipun amatir, setidaknya dapatlah mengurangi beban ku karena Yoz.
Tlah pergi sosok ituJauh nian ia melangkahPergilah dengan sejuta kenanganEnyahlah dari hidupkuDan bawa semua tipuan cintaYang pernah kau beri padakuOh, akhirnya…Berujung sudah permainan sandiwara iniIkhlas kini ku lepas jantung hatiKu yakin tuk melangkah lagiTanpa sesal dan emosiKan ku curah dalam pekat malamTentang pergimu ke lain hatiDuka yang dulu bersarangHingga kini lekat tersimpanIngin rasanya ku tahanRindu yang menggebuHarap ku bisa tuk hapus kenangan laluNan ku buka lembaran baruSeuntai kata dariku“Terimakasih” atas segala luka“Terimakasih” atas semua dampaKini, tak ku biarkan tersisa torehan lukaKelak jejakmu kan terhapusBersama bahagia…
Begitulah…
Ku
tutup diary itu, ku taruh di tempat semula. Dari sini seolah ku
mendapat kekuatan lagi, karena ku lega setelah mencurahkan segala isi
hatiku pada karya amatirku itu. Kekuatan tuk tetap tegar dalam menjalani
hidup ini. Sendiri. Untuk saat ini.
Karena
ku yakin, suatu nanti ‘kan datang seorang yang mengulurkan tangannya
dan membantuku bangkit dari kesendirianku selama ini, dan hanya untukku.
Nisa benar, harus ada niat.
“Cukup sampai disini bayangmu menyiksaku, Yoz. Biarkan aku bebas dari belenggu cinta semu-mu
selama ini. Aku bukan orang munafik yang mau memendam perasaanku. Ku
akui, aku masih menyayangimu. Sayangnya, telingamu terlalu tuli ‘tuk
mendengarnya, dan perasaanmu tidaklah peka untuk merasakannya.”
Malam
ini, ku pejamkan mata menuju mimpi tanpa sesal dan emosi. Tak lupa ku
berdoa, berharap semoga esok akan lebih baik. Dan mentari pagi ‘kan
menyapaku dengan senyum hangatnya, menyumbangkan sedikit energinya
untukku lebih kuat dari yang sudah-sudah saat berpapasan dengan Yoz esok
pagi di sekolah.
Hmmmp…